Rabu, 28 November 2007

Dicky Iskandar Dinata

Ahmad Sidik Mauladi Iskandardinata alias Dicky Iskandardinata cucu Otto Iskandar Dinata, mantan Dirut PT Brocolin International, divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, Dicky dituntut pidana mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) dan wajib membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara karena menerima dana Rp 49,2 miliar dan 2,99 juta dolar AS hasil pencairan L/C fiktif PT Gramarindo Group pada Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. Tuntutan pidana mati oleh JPU merupakan yang pertama dalam kasus dugaan korupsi.

Saat membacakan amar putusan, Ketua Majelis Hakim Efran Basuning menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara secara bersama-sama dan berlanjut.
"Karena itu, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun dan denda Rp 500 juta subsider lima bulan penjara," kata Efran.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan unsur-unsur dalam pasal dakwaan yaitu Pasal 2 (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 (1) ke-1 jo Pasal 64 (1) KUHP, telah terpenuhi dari pemeriksaan pokok perkara dalam sidang.
Sementara unsur-unsur dalam pasal dakwaan adalah "barang siapa", "melakukan perbuatan melawan hukum", "memperkaya diri/orang lain/korporasi", "yang dapat merugikan keuangan negara", "secara bersama-sama" dan "merupakan perbuatan berlanjut."

Pada tahun 2003, Brocollin menerima dana investasi asing dari Adrian Waworuntu (sekarang terpidana seumur hidup) dan Marie Pauline Lumowa (masih buron) dari PT Gramarindo Group (belakangan diketahui dana itu merupakan hasil pembobolan Bank BNI melalui penerbitan L/C fiktif).
Majelis Hakim menilai, karier panjang Dicky selaku bankir seharusnya membuatnya memiliki kepekaan tersendiri atau patut curiga dalam penerimaan dana investasi Gramarindo ini.
Selain itu, terdakwa Dicky dan stafnya, Suharna dan Marhaeni Atmandiyah (keduanya telah divonis empat tahun), melakukan pemindahbukuan atas dana yang masuk ke tiga rekening Brocollin, rekening investasi, dan juga rekening pribadinya.
"Perbuatan terdakwa mengambil alih Brocollin International, membuka rekening untuk penerimaan dana, serta melakukan investasi pada Juli hingga November 2003 sebagai unsur perbuatan berlanjut," demikian bunyi salah satu pertimbangan hakim.
Majelis hakim menilai bahwa terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah tentunya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kejahatannya.
Namun, majelis menilai hal yang menyertakan perbuatan Dicky yang terlibat kasus Bank Duta sehingga dikenai tuntutan pidana mati itu harus ditolak karena tidak diajukan dalam surat dakwaan.

Lebih lanjut majelis hakim menyatakan, pemidanaan memiliki maksud pemberian nestapa dan pembelajaran agar terdakwa berkelakuan baik di kemudian hari.
Dalam penjatuhan pidana penjara 20 tahun itu, majelis hakim memasukkan faktor pemberatan yaitu perbuatan terdakwa yang sangat merugikan keuangan negara, juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan Indonesia, serta terdakwa yang tidak mengakui perbuatannya.
"Terdakwa juga tergolong residivis atau dihukum berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan tetap dalam kasus pidana Bank Duta dan tidak membayar uang pengganti Rp 800 miliar," kata Efran.

Pada awal tahun 1990-an, Dicky yang menjabat Direktur Utama Bank Duta merugikan negara saat terlibat perdagangan valas. Dicky dijatuhi pidana delapan tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 800 miliar, yang hingga kini tidak dipenuhinya.
Namun, majelis hakim menilai sejumlah hal sebagai hal peringanan, yaitu sikap terdakwa Dicky yang sopan selama persidangan, koordinasi sejak awal dengan BNI dan Mabes Polri serta kondisi terdakwa yang sakit jantung.



1 komentar:

XryaZ mengatakan...

Dia cuma di tuduh..