Rabu, 12 Desember 2007

Hamid Awaluddin


Kapolri Jenderal Sutanto, 26 September 2006, yang menyatakan kasus dugaan sumpah palsu Hamid Awaluddin sebagai “tidak termasuk kategori kasus berat.” Ketika itu Hamid Awaludin diadukan ke polisi oleh Daan Dimara, keduanya dalam konteks sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum/KPU dalam Pemilu 2004). Karena bukan kasus berat, Sutanto tidak akan mengambil alih proses penyelidikan sumpah palsu yang saat itu tengah ditangani oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. “Perkara itu kan mudah pembuktiannya, tinggal dipanggil saksi-saksinya saja,” ujar Sutanto. Jika betul pembuktiannya mudah, maka diasumsikan dalam waktu dekat “misteri rapat 14 Juni 2004” (rapat di KPU yang menentukan harga kertas segel pemilu tanpa proses tender) tersebut akan terungkap kebenarannya. Namun, apa yang terjadi? Berbulan-bulan kemudian—hingga kini—Hamid Awaluddin, tak tersentuh hukum. Sementara itu, kasus dugaan “sumpah palsu” yang dilaporkan Daan Dimara ke pihak kepolisian itu senyap dan lenyap. Mestinya Kapolda Metro Jaya (juga Kapolri) merasa terpanggil untuk menjelaskan kasus tersebut kepada publik. Karena yang terlibat dugaan skandal itu adalah pejabat publik, apalagi kini yang bersangkutan adalah Menteri Hukum dan HAM.

Sementara itu, perkara yang pertama itu belum lagi menjadi terang, kini tokoh yang sama mencuat kembali menjadi bintang yang benderang dengan dugaan kuat bahwa dirinya kena skandal keuangan dan kepatutan moral. Hamid kembali menjadi pusat sorotan karena sebagai Menkum HAM sangat getol dalam urusan pencairan uang terpidana (ketika itu) Tommy Soeharto. Putra kesayangan penguasa Orde Baru itu kini pun masih berperkara dengan pemerintah Indonesia soal klaim duit gede di pengadilan Inggris. Dengan campur tangan Menkum HAM yang yang luar biasa aktif itu, uang Tommy senilai 10 juta dolar AS yang disimpan di BNP Paribas, London, mengalir kembali ke Indonesia.

Hamid menyediakan rekening bank milik Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM) untuk menampung dan menyalurkan uang Tommy.Di samping itu, dalam mengurus kepentingan uang Tommy, Hamid memberi BNP Paribas informasi yang terbilang rahasia dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK padahal sudah mengingatkan ketika memberi informasi itu kepada Hamid, bahwa informasi tersebut tak bisa disebarluaskan.

Untuk melancarkan arus uang Tommy ke Bank Negara Indonesia cabang Tebet, Hamid menulis katebelece yang intinya membebaskan direksi BNI dari semua tuntutan hukum.Pertanyaannya, mengapa seorang menteri sampai terlibat begitu jauh dalam urusan privat seseorang yang hanya warga negara biasa? Lagi pula, sangatlah di luar kepatutan pemerintah memberikan rekening banknya dipakai untuk melancarkan urusan pribadi, apalagi menyangkut transfer uang dalam jumlah besar dari orang yang sedang bermasalah. Ada hal lain yang mengherankan: rekening milik Depkum HAM yang dipimpin Hamid itu berumur sangat pendek. Dibuka menjelang transfer dan segera ditutup begitu transfer tersebut selesai. Begitu uang sampai, hari itu juga uang lenyap dari rekening di BNI Tebet dan beralih ke rekening di BNI Melawai. Dari sana uang terbang ke mana-mana. Yang tak kalah anehnya, Hamid tidak melaporkan pembukaan rekening itu ke Departemen Keuangan.

Tindakan Hamid dalam mengurus kepentingan Tommy dengan melabrak aturan dan etika jabatan itu membuat publik patut curiga.Apakah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla yang bertekad memerangi korupsi ini sungguh-sungguh bisa dipercaya bahwa pemerintah tidak tebang pilih? Mengapa terkesan ada sikap yang mengistimewakan seorang Tommy Soeharto dalam kasus pencarian uang di luar negeri itu? Sikap tersebut bukan hanya tercermin dalam tindakan “heroik-patriotik” Hamid (yang berdalih lebih baik memulangkan uang ke dalam negeri), tapi juga melalui komentar Wakil Presiden Jusuf Kalla (23 Maret 2007) bahwa “tidak ada tindak pidana korupsi dalam kasus transfer dana milik Tommy Soeharto dari BNP Paribas di London ke rekening Menkum HAM di BNI Cabang Tebet”. Wapres Kalla juga meminta agar berbagai pihak tidak terlalu mencurigai Hamid, Yusril Ihza Mahendra (mantan Menkeh HAM), maupun Tommy dalam kasus tersebut.

Dalam konteks memerangi korupsi, mestinya Wapres mengerti bahwa sikap mencurigai itu justru penting. Berdasar sikap itulah upaya-upaya investigasi bisa dikembangkan secara lebih terarah. Jadi, di wilayah “perang terhadap korupsi” ini, setiap orang harus dipandang dengan “paradigma bersalah” dan bukan “paradigma tidak bersalah”. Kalau sudah masuk ke wilayah pengadilan, barulah paradigma yang digunakan diubah: memandang siapa pun sebagai “orang yang tidak bersalah“. Jadi, mungkin saja Tommy sendiri tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus ini. Tapi, jangan terburu-buru menutup kemungkinan bahwa dana di BNP Paribas itu merupakan hasil korupsi yang pernah dilakukan ayahnya, mantan presiden Soeharto. Apalagi, ada dugaan lain bahwa uang Tommy di luar negeri itu ditransfer melalui rekening kantor pengacara milik Yusril Ihza Mahendra, “Ihza and Ihza”. Atas jasa tersebut, kantor pengacara Yusril mendapat fee sebesar Rp 7 milliar. Bukankah dugaan-dugaan ini layak dikembangkan ke arah penyelidikan?Di negara yang masih juara korupsi dan supremasi hukumnya sedang carut-marut ini, publik justru tidak sekali-kali boleh lengah dalam mengawasi kinerja para pejabat negara dan pihak-pihak lain yang terkait dengan mereka.

Hamid dan Yusril saling tuding dan saling menunggu siapa yang akan menuai badai dihentikan sebagai menteri kabinet SBY-YK. Walau menjadi anak emas YK, akhirnya Hamid tak dapat lagi dilindungi oleh YK. Bersama Yusril keduanya dihentikan dari kabinet SBY-YK. Atas jasanya bersekutu dengan koruptor, Hamid mendapat promosi sebagai dutabesar. Mungkin hanya di Indonesia, pejabat yang diberhentikan karena alasan korupsi bisa mewakili negaranya sebagai duta besar.

Sumber : Victor Silaen (Sinar HArapan) dan berbagai sumber.

Kamis, 29 November 2007

H Suwarna Abdul Fatah


Mayor Jenderal TNI (Angkatan Darat) H. Suwarna Abdul Fatah lahir di Bogor, 1 Januari 1944 adalah Gubernur Kalimantan Timur ke-10 dan 11. Sebelumnya dia adalah Wakil Gubernur Kalimantan Timur bidang Ekonomi dan Pembangunan dan menggantikan H. M. Ardans sebagai Gubernur sejak 1998. Pada tahun 2003, dia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua hingga tahun 2008 mendatang. Ia dinonaktifkan dari jabatannya sejak 8 Desember 2006 karena diduga terkait kasus korupsi.

Suwarna ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 19 Juni 2006 dalam kasus dugaan korupsi pelepasan izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit satu juta hektare di wilayah Penajam Utara, Berau, Kalimantan Timur yang melibatkan Surya Dumai Group pimpinan Martias alias Pung Kian Hwa. Ia mulai diadili dalam kasus ini di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada 9 November 2006.


Pada 13 Maret 2007, Suwarna melaporkan para penyidik KPK ke kepolisian karena menduga mereka telah merekayasa dokumen yang dijadikan barang bukti dalam perkara korupsi tersebut. Kemudian pada 22 Maret, majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi memutuskan untuk memvonis Suwarna dengan hukuman 1,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena terbukti bersama-sama dengan mantan Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Dephutbun Waskito Soerjodibroto, mantan Kakanwil Kehutanan dan Perkebunan Kaltim Uuh Aliyudin dan mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kaltim Robian menyalah gunakan wewenang mereka sehingga merugikan negara sebesar Rp 5,167 miliar, sementara dakwaan lain tentang penerbitan izin pemanfaatan kayu dan berbagai surat yang dikeluarkan Suwarna tidak bisa dapat dibuktikan.


Syamsul Bahri

Kejaksaan Negeri Malang melimpahkan berkas acara pemeriksaan (BAP) Syamsul Bahri ke pengadilan, Selasa (20/11). Calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini diduga terlibat kasus korupsi dana Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun) Kabupaten Malang. Menurut Kepala Kejaksaan Malang, Adam MH Sabtu, dalam kasus ini ada 4 orang yang dijadikan tersangka, yaitu Syamsul Bahri, Ahmad Santoso (Mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Malang), Samian ( Direktur CV Sami Jaya), dan Samiadi (Direktur CV Tehnical Utama).

Dua orang lainnya dalam kasus yang sama, yakni Hendro Soesanto (Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemkab Malang) dan Freddy Talahatu (Staf Dinas Pertanian dan Perkebunan) sudah divonis satu tahun penjara dan kini dalam proses banding. Dari keempat tersangka tadi, kata Adam, baru berkas Syamsul yang dilimpahkan ke pengadilan. Sementara 3 lainnya masih dalam proses pemeriksaan. "Yang P-21 hanya atas nama Syamsul. Yang lain belum," katanya.

Syamsul Bahri dijadikan tersangka dalam korupsi dana Kimbun senilai Rp 3.02 Miliar. Ikut menjadi tersangka bersama Syamsul adalah Ahmad Santoso (Mantan Sekretaris Daerah Pemkab Malang), Samian ( Direktur CV Sami Jaya), dan Samiadi (Direktur CV Tehnical Utama). Dua orang lainnya dalam kasus yang sama, yakni Hendro Soesanto (Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemkab Malang) dan Freddy Talahatu (Staf Dinas Pertanian dan Perkebunan) sudah divonis satu tahun penjara dan kini dalam proses banding. Kasus ini terjadi akibat dialihkannya dana Proyek Kimbun ke Proyek pembangunan Pabrik Gula Mini, Kigumas. Seharusnya dana itu untuk pembinaan para petani tebu di Malang selatan. Syamsul diduda telah mendapatkan dana sebesar Rp 645.987.000 sebagai jasa konsultan.

www.tempointeraktif.com

Korupsi Para Bupati

Dari 41 bupati yang tersandung kasus korupsi, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hassan Rais, paling fenomenal. Bupati dari kabupaten terkaya di Indonesia ini didakwa 4 kasus dugaan korupsi dengan nilai total kerugian negara mencapai Rp 120 miliar. Angka yang didakwakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Tipikor itu sebenarnya lebih rendah dari yang diduga selama ini. Berdasarkan data yang dikumpulkan Indonesian Corruption Watch (ICW) per 20 September 2007, Syaukani diduga melakukan korupsi dengan taksiran angka kerugian negara mencapai Rp 2,1 triliun.

Kasus pertama Syaukani adalah menandatangani surat keputusan pembagian uang perangsang atas penghasilan daerah dari migas. Kasus kedua adalah penunjukan langsung proyek FS Bandara Kutai Kartanegara.Kasus ketiga adalah penyelewengan dana pembangunan bandara dalam APBD 2004 dan kasus keempat adalah menyelewengkan dana kesejahteraan rakyat dalam APBD 2005. Dan sampai sekarang, proses pengadilan Syaukani masih berlangsung.

Bagaimana dengan bupati-bupati lain yang masuk daftar ICW? Karena sebagian masih berstatus dalam penyelidikan atau hanya sebagai saksi, maka tak diketahui dugaan kerugian negara yang diakibatkannya.

Berikut daftar bupati-bupati beserta status hukum dan dugaan nilai korupsi yang dilakukan berdasarkan data yang diolah Indonesian Corruption Watch (ICW):

1. Bupati Pandeglang, Banten, Achmad Dimyati Natakusumah. Achmad diduga terlibat kasus korupsi APBD Pandeglang tahun 2002 pada pembebasan tanah untuk lahan parkir Karangsari, Kecamatan Labuhan, dengan nilai Rp 3,5 miliar. Achmad diperiksa Kejati Banten sebagai saksi.

2. Bupati Bone Bolango, Gorontalo, Ismet Mile, diizinkan SBY diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan fasilitas penunjang objek wisata Lombongo, yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga tahun 2003. Ia juga diduga menggunakan sisa ABT (Anggaran Biaya Tambahan) APBD 2003 dan penggunaan DAK (Dana Alokasi Khusus) non-reboisasi 2004, serta pembagian dana APBD 2004.

3. Bupati Sarolangun, Jambi, Muhammad Madel, diduga terlibat korupsi pembangunan dermaga ponton Rp 3,5 miliar. Kasus ditangani Kejati Jambi dan 3 Mei 2007 lalu diizinkan Depdagri untuk diperiksa sebagai saksi.

4. Bupati Garut, Jawa Barat, Agus Supriadi, diduga menyelewengkan APBD Garut 2004-2007 untuk kepentingan pribadi sebesar Rp 6,9 miliar. Agus sudah ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan KPK sejak 26 Juli 2007 lalu.

5. Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Lili Hambali Hasan, diperiksa Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana bencana alam Rp 2 miliar dan kasus korupsi pembangunan gedung Islamic Center Purwakarta sebesar Rp 1,725 miliar.

6. Bupati Kendal, Jawa Tengah, Hendy Boedoro, telah divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor 18 September 2007 atas penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi sebesar Rp 16,8 miliar.

7. Bupati Pemalang, Jawa Tengah, M Machroes, diperiksa Kejaksaan Negeri Pemalang selaku saksi terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan buku ajar 2004 dan 2005 senilai total Rp 26,587 miliar.

8. Bupati Semarang, Jawa Tengah, Bambang Guritno, diadili dalam kasus penyimpangan APBD 2004 Kabupaten Semarang terkait pengadaan buku ajar SD/MI kelas I dan IV yang menyebabkan kerugian negara Rp3,365 miliar.

9. Bupati Wonogiri, Jawa Tengah, Begug Purnomosidi, beberapa kali diperiksa KPK terkait dugaan penyimpangan APBD Wonogiri.

10. Bupati Madiun, Jawa Timur, H Djunaedi Mahendra, merupakan tersangkapenyelewengan APBD 2001-2004 yang merugikan negara Rp 8,7 miliar. Kasus ditangani Polwil Madiun.

11. Bupati Magetan, Jawa Timur, Saleh Muljono, merupakan tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan GOR Ki Mageti dan gedung DPRD Magetan senilai Rp 7,2 milliar. Ditetapkan tersangka sejak 29 Juni 2007 lalu.

12. Bupati Malang, Jawa Timur, Sujud Pribadi, diambil keterangan terkait kasus dugaan penyelewengan dana keagamaan senilai Rp 1,1 miliar dari total anggaran sekitar Rp 2,3 miliar. Kasus ini telah menyeret mantan Kabag Pemerintahan Sahiruddin sebagai tersangka.

13. Bupati Pamekasan, Jawa Timur, Achmad Syafii Yasin, diambil keterangan dalam kasus korupsi anggaran biaya tambahan sebesar Rp 3,5 miliar.

14. Bupati Pasuruan, Jawa Timur, H. Jusbakir Aldjufri, diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi penggunaan anggaran proyek usaha peternakan Aliansi bekerja sama dengan Unibraw, Lousiana State University, American Brahmanan Breeuer Association. Kerugian negara diperkirakan Rp 3,5 miliar.

15. Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Wien Hendrarso, akan diperiksa dalam kasus dugaan korupsi belasan miliar rupiah pada proyek pengadaan tanah untuk Pasar Induk Agrobis (PIA) di Kelurahan Jemundo, Kecamatan Taman, Sidoarjo.

16. Bupati Situbondo, Jawa Timur, Ismunarso, ditetapkan tersangka pada 18 September 2007 dalam kasus dugaan korupsi raibnya dana kas daerah sebesar Rp Rp 45,750 miliar.

17. Bupati Ketapang, Kalimantan Barat, Morkes Effendi, diduga terlibat korupsi penyimpangan dana PSDH dan DR Kabupaten Ketapang dan korupsi proyek pengadaan air bersih Riam Berasap yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 42 miliar. Kejaksaan sudah mengajukan surat izin ke presiden yang dilayangkan dengan nomor R 308/3/2006, sejak 29 Maret 2006 untuk meminta keterangannya sebagai saksi.

18. Bupati Sintang, Kalimantan Barat, Milton Crosby, sedang menunggu izin pemeriksaan dirinya atas dugaan kasus korupsi penahanan Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR).

19. Bupati Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Ardiansyah, diajukan oleh Kapolri sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi pemberian izin illegal mining pada 2 Februari 2006. Namun belum diketahui perkembangan kasusnya.

20. Bupati Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Baharudin H Lisa, akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi dana alokasi khusus dana reboisasi tahun anggaran 2004 dan 2005 di Kabupaten Barito Selatan.

21. Bupati Barito Utara, Kalimantan Tengah, Achmad Yuliansyah, status tersangka kasus dana lelang illegal logging Rp 3 miliar sejak 17 April 2006.

22. Bupati Lamandau Bustani, Kalimantan Tengah, Hj Mahmud, pada 3 Mei 2007 lalu diizinkan Depdagri untuk diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi penyimpangan dana APBD 2004 dengan kerugian negara berdasarkan perhitungan BPKP sekitar Rp 12 miliar. Kejati Kalimantan Tengah telah mendapat izin penahanan dan pemeriksaan atas Bupati Lamandau dari Presiden.

23. Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Yusran Aspar, dinonaktifkan 10 September 2007. Yusran merupakan tersangka penggelembungan dana pembebasan lahan 50 hektar di Babulu, Kecamatan Babulu Darat, sebesar Rp 5,8 milyar, seluas lahan yang rencananya akan dibangun perumahan pegawai negeri sipil.

24. Bupati Tulang Bawang, Lampung, Abdurachman Sarbini, diperiksa sebagai saksi kasus korupsi pengadaan kapal cepat dengan APBD tanpa persetujuan DPRD dengan nilai proyek Rp 4 miliar.

25. Bupati Dompu, Nusa Tenggara Barat, Abu Bakar Ahmad, divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor atas korupsi dana tak terduga Pemkab Dompu 2003-2005 Rp 4,6 miliar. Lalu Abu Bakar diberhentikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Desember 2006.

26. Bupati Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Iskandar, diduga terlibat mark up tukar guling tanah Pemkab Lobar di Desa Sesela, Gunungsari, Lombok Barat, senilai di atas Rp 1 miliar lebih.

27. Bupati Kupang, Nusa Tenggara Timur, Ibrahim Agustinus Medah, merupakan tersangka dana proyek pengadaan 300 unit rumpon senilai Rp 3,9 miliar dan kasus Purnabakti DPRD Kabupaten Kupang Rp 1 miliar. Ketua DPD Partai Golkar NTT ini resmi tersangka sejak 21 Juli 2007.

28. Bupati Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Christian Nehemia Dillak, merupakan tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan dua unit kapal ikan tahun 2002. Ditetapkan tersangka pada 20 Juli 2007 lalu oleh Polda NTT.

29. Bupati Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Daniel Banunaeak, sebagai saksi dalam perkara tindak pidana penebangan pohon jati tanpa izin dari pejabat yang berwenang di kawasan Hutan Kutuanas, Desa Lelo, Kecamatan Atu Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Juga terkait kasus dana purna bakti Timor Tengah Selatan periode 1999-2004 sebesar Rp 1,4 miliar.

30. Bupati Jayawijaya, Papua, David Agustein Hubi, pada 3 Mei 2007 lalu diizinkan Depdagri untuk diperiksa sebagai tersangka pembelian fiktif dua pesawat Fokker 27 seharga Rp 8,6 miliar per satu unit, penyimpangan dana pengadaan/pengoperasian pesawat Antonov buatan Rusia sebesar Rp 3,9 miliar, biaya pengangkutan rangka baja dari Bandara Sentani ke Wamena sebesar Rp 2 miliar, dan pengadaan dua unit ground power senilai Rp 1,75 miliar. Total kerugian negara Rp 24,8 miliar.

31. Bupati Nabire, Papua, Drs Anselmus Petrus Youw, tersangka Korupsi APBD Kabupaten Nabire Rp 2,5 miliar. Ditetapkan jadi tersangka 5 November 2004 lalu oleh Polda Papua. Belum diketahui perkembangan kasusnya.

32. Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jaafar, telah ditetapkan KPK sebagai tersangka gratifikasi dalam penerbitan izin pemanfaatan kayu (IPK). Tengku Azmun diduga telah menerima dana gratifikasi Rp 600 juta.

33. Bupati Mamasa, Sulawesi Barat, HM Said Saggaf, diduga terlibat korupsi APBD senilai Rp 70 miliar. Namun Said hanya diperiksa selaku saksi.

34. Bupati Luwu, Sulawesi Selatan, Basmin Mattayang, diperiksa Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan sebagai tersangka kasus korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah 2004 senilai Rp 1,05 miliar pada 18 Juli 2007 lalu.

35. Bupati Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Johanis Amping Situru, bersama wakilnya, A Palino Popang, mendekam di balik jeruji Rutan Makassar. Orang nomor satu Tana Toraja itu menjadi tersangka kasus dugaan korupsi APBD Toraja 2003/2004 senilai Rp 3,9 miliar.

36. Bupati Morowali, Sulawesi Tengah, Andi Muhammad AB, pada 3 Mei 2007 lalu diizinkan Depdagri untuk diperiksa sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyelewengan dana pemekaran senilai Rp 5 miliar.

37. Bupati Muaraenim, Sumatera Selatan, Kalamudin Djinab, status diambil keterangan dalam kasus korupsi proyek penggantian box culvert dan perbaikan jalan Tanah Abang-Modong.

38. Bupati Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, Muhtadin Serai, tersangka dalam korupsi pembangunan proyek pasar tradisional Saka Selabung Muara dua. Pemeriksaan menunggu izin presiden.

39. Bupati Nias, Sumatera Utara, Bina B Bahaiak, tersangka kasus dugaan korupsi penggunaan dana PSDH senilai Rp 2,3 miliar. Dana ini digunakan untuk proyek pembangunan jalan di Nias. Kasus ditangani Kejari Gunung Sitoli.

40. Bupati Sleman, Yogyakarta, Ibnu Subiyanto, tersangka atas dugaan korupsi pengadaan buku paket pelajaran SD-SMA yang merugikan negara hingga Rp 12 miliar. Kasus ditangani Polda DIY.

www.detik.com

Monang Sitorus

Monang Sitorus [53 tahun], Bupati Toba Samosir, telah resmi menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana Rp 3 miliar yang diambilnya dari kas Pemkab Toba Samosir.
Bupati Monang Sitorus dipastikan menjadi tersangka setelah munculnya surat dari Polda Sumut kepada Kejati Sumut yang menyebutkan “dimulainya penyidikan atas nama tersangka Drs Monang Sitorus SH, MBA.”

Monang Sitorus, bekas PNS kelahiran Porsea tahun 1954, menurut Polda, diduga merugikan negara dengan mengambil uang Rp 3 miliar dari kas daerah untuk kepentingan pribadi. Kasus ini dilaporkan pertama kali oleh LSM Faka Tobasa ke Polda.

Tersiar kabar di sejumlah koran bahwa ada oknum anggota DPRD dan wartawan yang kebagian proyek Pemkab; dengan tujuan agar tidak lagi meributkan kasus ini.
Dan terbukti memang, dua kali DPRD Tobasa gagal membentuk pansus atas kasus ini. Mayoritas wakil rakyat pro-Bupati. Hanya beberapa orang yang masih punya nurani, antara lain Ketua DPRD Tumpal Sitorus.

Uang Rp 3 miliar yang diduga diembat Bupati dicairkan dua kali. Bupati Monang Sitorus meneken kuitansi pencairan uang itu secara langsung. Pada kuitansi tercantum maksud pemakaian uang adalah untuk “panjar biaya pengurusan DAK dan DAU tahun 2006″. DAK dan DAU adalah dana APBN yang setiap tahun dibagi kepada semua kabupaten di Indonesia. Dana ini adalah hak setiap kabupaten; jadi memang sangat tidak masuk akal alasan pencairan uang Rp 3 miliar tersebut.

Foto yang terpasang di awal berita ini adalah gambar Monang Sitorus saat menjenguk Raja DL Sitorus, konglomerat yang kini mendekam di penjara. DL adalah penasihat Monang dalam pilkada dua tahun silam, sekaligus penyandang dana utama bagi tim sukses Monang. Kala berkampanye di lapangan Sisingamangaraja XII Balige, DL berjanji di hadapan puluhan ribu rakyat bahwa dia tidak akan menolerir bila calon bupati yang didukungnya, Monang, melakukan korupsi setelah terpilih.

Chairuddin P Lubis

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) memeriksa Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Chairuddin P Lubis terkait dugaan penyelewengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp93,2 miliar.

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), terdapat kejanggalan penggunaan anggaran PNBP tahun 2005 dan tahun sebelumnya di USU. BPK mencatat sekitar Rp93,2 miliar dana PNBP USU tak disetorkan ke kas negara pada 2005. PNBP tersebut tak tercatat dalam laporan realisasi anggara (LRA) satuan kerja (Satker) USU maupun Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada 2005. Ini temuan BPK yang menjadi bukti awal adanya dugaan tindak pidana korupsi, kata Iskandar, juru bicara Forum Peduli USU selaku pelapor dugaan korupsi tersebut.

Iskandar mengatakan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 pasal 41 ayat (1) menyebutkan masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan danpemberantasan tindak pidana korupsi. “Dengan dasar hukum tersebut dan rasa kepedulian terhadap USU kami melaporkan dugaan korupsi ini kepada aparat hukum, katanya.**

Abdullah Puteh


Abdullah Puteh lahir di Meunasah Arun Aceh Timur 4 Juli 1948, menjabat sebagai gubernur Nanggroe Aceh Darussalam saat dijebloskan di Rutan Salemba tanggal 7 Desember 2004 Jakarta, karena dituduh korupsi dalam pembelian 2 buah helikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp. 12,5 miliar.

Pada 11 April 2005, Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat vonis hakim dibacakan, Puteh berada di rumah sakit karena baru selesai dioperasi prostatnya. Segera setelah putusan tersebut dikeluarkan, Departemen Dalam Negeri menyatakan akan segera memberhentikan Puteh sebagai Gubernur. Sebelumnya Puteh hanya dinonaktifkan.

Rabu, 28 November 2007

Tommy Suharto


Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto terpidana kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dihukum penjara selama 15 tahun. Baru beberapa bulan lalu bebas dari penjara, Tommy Suharto kembali berurusan dengan hukum. Kejagung menetapkan anak bungsu mantan Presiden Soeharto itu sebagai tersangka dalam kasus BPPC.

Jaksa Agung Hendarman Supandji hari ini menyatakan Tommy sebagai tersangka dalam kasus kasus dugaan korupsi di Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).Status tersangka tersebut terkait dengan posisi Tommy Suharto pada tahun 1990-an sebagai boss di BBPC yang ditugasi mengatur perdagangan cengkeh. Badan itu menguasai monopoli atas penjualan cengkeh di dalam dan keluar negeri. Akibat monopoli bisnis cengkih dengan bendera BPPC, diduga negara dirugika Rp 175 miliar.

BPPC sendiri dibubarkan pada tahun 1998. Pemerintah saat itu mengeluarkan pinjaman lunak dari bank sentral kepada BPPC, sehingga badan itu bisa membeli cengkeh langsung dari para petani. "Dia didapati menyalahgunakan pinjaman lunak kepada badan itu untuk membeli cengkeh dari para petani," kata Jaksa Agung kepada BBC. Hutomo "Tommy" Mandala Putra (44), Oktober lalu dibebaskan dari penjara setelah menjalani sepertiga dari vonis hukuman yang dia terima dalam kasus pembunuhan seorang hakim. Dugaan korupsi BPPC ini sebenarnya bukan kasus yang baru kali ini disidik. Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan SPDP dalam kasus ini pada 16 November 2000. Bahkan, Jaksa Agung saat itu (Marzuki Darusman, S.H.) dalam jawaban tertulis pada rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, 18 Juni 2001, telah mencantumkan nama mantan Presiden Soeharto sebagai tersangka.

Dicky Iskandar Dinata

Ahmad Sidik Mauladi Iskandardinata alias Dicky Iskandardinata cucu Otto Iskandar Dinata, mantan Dirut PT Brocolin International, divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, Dicky dituntut pidana mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) dan wajib membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara karena menerima dana Rp 49,2 miliar dan 2,99 juta dolar AS hasil pencairan L/C fiktif PT Gramarindo Group pada Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. Tuntutan pidana mati oleh JPU merupakan yang pertama dalam kasus dugaan korupsi.

Saat membacakan amar putusan, Ketua Majelis Hakim Efran Basuning menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara secara bersama-sama dan berlanjut.
"Karena itu, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun dan denda Rp 500 juta subsider lima bulan penjara," kata Efran.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan unsur-unsur dalam pasal dakwaan yaitu Pasal 2 (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 (1) ke-1 jo Pasal 64 (1) KUHP, telah terpenuhi dari pemeriksaan pokok perkara dalam sidang.
Sementara unsur-unsur dalam pasal dakwaan adalah "barang siapa", "melakukan perbuatan melawan hukum", "memperkaya diri/orang lain/korporasi", "yang dapat merugikan keuangan negara", "secara bersama-sama" dan "merupakan perbuatan berlanjut."

Pada tahun 2003, Brocollin menerima dana investasi asing dari Adrian Waworuntu (sekarang terpidana seumur hidup) dan Marie Pauline Lumowa (masih buron) dari PT Gramarindo Group (belakangan diketahui dana itu merupakan hasil pembobolan Bank BNI melalui penerbitan L/C fiktif).
Majelis Hakim menilai, karier panjang Dicky selaku bankir seharusnya membuatnya memiliki kepekaan tersendiri atau patut curiga dalam penerimaan dana investasi Gramarindo ini.
Selain itu, terdakwa Dicky dan stafnya, Suharna dan Marhaeni Atmandiyah (keduanya telah divonis empat tahun), melakukan pemindahbukuan atas dana yang masuk ke tiga rekening Brocollin, rekening investasi, dan juga rekening pribadinya.
"Perbuatan terdakwa mengambil alih Brocollin International, membuka rekening untuk penerimaan dana, serta melakukan investasi pada Juli hingga November 2003 sebagai unsur perbuatan berlanjut," demikian bunyi salah satu pertimbangan hakim.
Majelis hakim menilai bahwa terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah tentunya harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kejahatannya.
Namun, majelis menilai hal yang menyertakan perbuatan Dicky yang terlibat kasus Bank Duta sehingga dikenai tuntutan pidana mati itu harus ditolak karena tidak diajukan dalam surat dakwaan.

Lebih lanjut majelis hakim menyatakan, pemidanaan memiliki maksud pemberian nestapa dan pembelajaran agar terdakwa berkelakuan baik di kemudian hari.
Dalam penjatuhan pidana penjara 20 tahun itu, majelis hakim memasukkan faktor pemberatan yaitu perbuatan terdakwa yang sangat merugikan keuangan negara, juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan Indonesia, serta terdakwa yang tidak mengakui perbuatannya.
"Terdakwa juga tergolong residivis atau dihukum berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan tetap dalam kasus pidana Bank Duta dan tidak membayar uang pengganti Rp 800 miliar," kata Efran.

Pada awal tahun 1990-an, Dicky yang menjabat Direktur Utama Bank Duta merugikan negara saat terlibat perdagangan valas. Dicky dijatuhi pidana delapan tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 800 miliar, yang hingga kini tidak dipenuhinya.
Namun, majelis hakim menilai sejumlah hal sebagai hal peringanan, yaitu sikap terdakwa Dicky yang sopan selama persidangan, koordinasi sejak awal dengan BNI dan Mabes Polri serta kondisi terdakwa yang sakit jantung.



ECW Neloe


Mantan Direktur Utama Bank Mandiri Edward Cornellis William Neloe, Jumat (14/9) malam, ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Bersama Neloe, dua mantan Direktur Bank Mandiri lainnya yang diadili dalam satu berkas perkara yang sama, yakni I Wayan Pugeg dan M Sholeh Tasripan, juga ditahan di LP Cipinang.
Majelis kasasi Mahkamah Agung yang diketuai Ketua MA Bagir Manan pada sidang hari Kamis (13/9), mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Majelis menyatakan Neloe, Pugeg, dan Tasripan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Masing-masing dipidana penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Putusan MA itu sangat melegakan Kejaksaan, sebagaimana disampaikan Jaksa Agung Hendarman Supandji melalui pesan layanan singkat/SMS kepada Kompas.
Dengan putusan itu, konstruksi hukum kejaksaan bahwa perbuatan bankir yang salah dalam pengucuran kredit dan menimbulkan masalah dalam pengembalian dapat dikenakan hukuman dalam tindak pidana korupsi. "Semua argumentasi jaksa dikuatkan MA. Keputusan MA itu akan dijadikan pegangan oleh kejaksaan dalam mengusut terus kasus-kasus korupsi serupa," tulis Hendarman.
Neloe, Pugeg, dan Tasripan didakwa melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dalam pemberian kredit Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara. Menurut jaksa, perbuatan itu merugikan negara 18,5 juta dollar AS atau setidaknya Rp 160 miliar.
Majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Gatot Suharnoto menjatuhkan vonis bebas kepada Neloe, Pugeg, dan Tasripan, 20 Februari 2006.

Selasa, 27 November 2007

Vonny Anneke Panambuan

Bupati Minahasa Utara, Vonny Anneke Panambuan, ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus penunjukkan langsung pekerjaan study kelayakan pembangunan Bandar Udara Samarinda Kutai Kartanegara.
Kasus Vonny terkait dengan korupsi Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hassan Rais. Syaukani menunjuk Vonnie A Panambuan yang mengatasnamakan PT Mahkamah Diastar International (PT MDI) sebagai pelaksana pekerjaan tersebut.
Selain melanggar Keputusan Presiden No.18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, harga yang disepakati lebih besar daripada biaya seharusnya.Selain itu, perusahaan Vonny diketahui tidak memiliki pengalaman di bidang study kelayakan bandar udara dan baru didirikan beberapa bulan sebelum proyek dilaksanakan.

Syaukani HR

Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hassan Rais didakwa melakukan empat perbuatan korupsi. JSyaukani telah memperkaya diri sendiri sekitar Rp 50,843 miliar dan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 120,251 miliar.

Empat perbuatan korupsi yang didakwakan kepada Syaukani adalah menetapkan dan menandatangani surat keputusan soal pembagian uang perangsang atas penerimaan daerah terhadap migas, penunjukan langsung pekerjaan studi kelayakan pembangunan Bandar Udara Samarinda-Kutai Kartanegara (Kukar), mengambil dan menggunakan dana pembangunan

Syaukani mengambil dan menggunakan dana pembangunan Bandar Udara Samarinda-Kukar dalam APBD Kabupaten Kukar tahun 2004 memperkaya terdakwa setidaknya Rp 15,250 miliar. Perbuatannya mempergunakan dana kesejahteraan rakyat/bantuan sosial dalam APBD Kabupaten Kukar tahun 2005 memperkaya diri sejumlah Rp 7,750 miliar.
Selain memperkaya dari perbuatan menetapkan dan menandatangani Surat Keputusan tentang Penetapan Pembagian Uang Perangsang atas Penerimaan Daerah yang berasal dari dana perimbangan terhadap migas, Syaukani diduga juga memperkaya orang lain sekitar Rp 65,360 miliar.

Perbuatan Syaukani menunjuk langsung pekerjaan studi kelayakan pembangunan Bandar Udara Samarinda-Kutai Kartanegara memperkaya Vonnie A Panambuan atau PT Mahakam Diastar Internasional. Vonnie sekarang menjabat sebagai Bupati Minahasa Utara. Vonnie atau PT Mahakam Diastar Internasional diduga telah diperkaya dengan memperoleh uang Rp 4,047 miliar.

Nurdin Halid


Nurdin Halid (lahir di Wattampone, 17 November 1958 adalah seorang pengusaha dan politikus Indonesia. Ia adalah Ketua Umum PSSI dan pernah menjadi anggota DPR-RI dari partai Golkar pada tahun 1999-2004.
Pada 16 Juli 2004, dia ditahan sebagai tersangka dalam kasus penyelundupan gula impor ilegal. Ia kemudian juga ditahan atas dugaan korupsi dalam distribusi minyak goreng. Hampir setahun kemudian pada tanggal 16 Juni 2005, dia dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dibebaskan. Putusan ini lalu dibatalkan Mahkamah Agung pada 13 September 2007 yang memvonis Nurdin dua tahun penjara. Ia kemudian dituntut dalam kasus yang gula impor pada September 2005, namun dakwaan terhadapnya ditolak majelis hakim pada 15 Desember 2005 karena berita acara pemeriksaan (BAP) perkaranya cacat hukum. Selain kasus ini, ia juga terlibat kasus pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam dan divonis penjara dua tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Agustus 2005. Tanggal 17 Agustus 2006 ia dibebaskan setelah mendapatkan remisi dari pemerintah bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Dari perkawinannya dengan Andi Nurbani, dia memperoleh lima putra dan satu putri. Adiknya, Kadir Halid, adalah manajer tim sepak bola PSM Makassar.Sementara itu, Nurdin Halid divonis dua tahun penjara oleh MA. Nurdin dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan minyak goreng.