Rabu, 12 Desember 2007

Hamid Awaluddin


Kapolri Jenderal Sutanto, 26 September 2006, yang menyatakan kasus dugaan sumpah palsu Hamid Awaluddin sebagai “tidak termasuk kategori kasus berat.” Ketika itu Hamid Awaludin diadukan ke polisi oleh Daan Dimara, keduanya dalam konteks sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum/KPU dalam Pemilu 2004). Karena bukan kasus berat, Sutanto tidak akan mengambil alih proses penyelidikan sumpah palsu yang saat itu tengah ditangani oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. “Perkara itu kan mudah pembuktiannya, tinggal dipanggil saksi-saksinya saja,” ujar Sutanto. Jika betul pembuktiannya mudah, maka diasumsikan dalam waktu dekat “misteri rapat 14 Juni 2004” (rapat di KPU yang menentukan harga kertas segel pemilu tanpa proses tender) tersebut akan terungkap kebenarannya. Namun, apa yang terjadi? Berbulan-bulan kemudian—hingga kini—Hamid Awaluddin, tak tersentuh hukum. Sementara itu, kasus dugaan “sumpah palsu” yang dilaporkan Daan Dimara ke pihak kepolisian itu senyap dan lenyap. Mestinya Kapolda Metro Jaya (juga Kapolri) merasa terpanggil untuk menjelaskan kasus tersebut kepada publik. Karena yang terlibat dugaan skandal itu adalah pejabat publik, apalagi kini yang bersangkutan adalah Menteri Hukum dan HAM.

Sementara itu, perkara yang pertama itu belum lagi menjadi terang, kini tokoh yang sama mencuat kembali menjadi bintang yang benderang dengan dugaan kuat bahwa dirinya kena skandal keuangan dan kepatutan moral. Hamid kembali menjadi pusat sorotan karena sebagai Menkum HAM sangat getol dalam urusan pencairan uang terpidana (ketika itu) Tommy Soeharto. Putra kesayangan penguasa Orde Baru itu kini pun masih berperkara dengan pemerintah Indonesia soal klaim duit gede di pengadilan Inggris. Dengan campur tangan Menkum HAM yang yang luar biasa aktif itu, uang Tommy senilai 10 juta dolar AS yang disimpan di BNP Paribas, London, mengalir kembali ke Indonesia.

Hamid menyediakan rekening bank milik Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM) untuk menampung dan menyalurkan uang Tommy.Di samping itu, dalam mengurus kepentingan uang Tommy, Hamid memberi BNP Paribas informasi yang terbilang rahasia dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK padahal sudah mengingatkan ketika memberi informasi itu kepada Hamid, bahwa informasi tersebut tak bisa disebarluaskan.

Untuk melancarkan arus uang Tommy ke Bank Negara Indonesia cabang Tebet, Hamid menulis katebelece yang intinya membebaskan direksi BNI dari semua tuntutan hukum.Pertanyaannya, mengapa seorang menteri sampai terlibat begitu jauh dalam urusan privat seseorang yang hanya warga negara biasa? Lagi pula, sangatlah di luar kepatutan pemerintah memberikan rekening banknya dipakai untuk melancarkan urusan pribadi, apalagi menyangkut transfer uang dalam jumlah besar dari orang yang sedang bermasalah. Ada hal lain yang mengherankan: rekening milik Depkum HAM yang dipimpin Hamid itu berumur sangat pendek. Dibuka menjelang transfer dan segera ditutup begitu transfer tersebut selesai. Begitu uang sampai, hari itu juga uang lenyap dari rekening di BNI Tebet dan beralih ke rekening di BNI Melawai. Dari sana uang terbang ke mana-mana. Yang tak kalah anehnya, Hamid tidak melaporkan pembukaan rekening itu ke Departemen Keuangan.

Tindakan Hamid dalam mengurus kepentingan Tommy dengan melabrak aturan dan etika jabatan itu membuat publik patut curiga.Apakah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla yang bertekad memerangi korupsi ini sungguh-sungguh bisa dipercaya bahwa pemerintah tidak tebang pilih? Mengapa terkesan ada sikap yang mengistimewakan seorang Tommy Soeharto dalam kasus pencarian uang di luar negeri itu? Sikap tersebut bukan hanya tercermin dalam tindakan “heroik-patriotik” Hamid (yang berdalih lebih baik memulangkan uang ke dalam negeri), tapi juga melalui komentar Wakil Presiden Jusuf Kalla (23 Maret 2007) bahwa “tidak ada tindak pidana korupsi dalam kasus transfer dana milik Tommy Soeharto dari BNP Paribas di London ke rekening Menkum HAM di BNI Cabang Tebet”. Wapres Kalla juga meminta agar berbagai pihak tidak terlalu mencurigai Hamid, Yusril Ihza Mahendra (mantan Menkeh HAM), maupun Tommy dalam kasus tersebut.

Dalam konteks memerangi korupsi, mestinya Wapres mengerti bahwa sikap mencurigai itu justru penting. Berdasar sikap itulah upaya-upaya investigasi bisa dikembangkan secara lebih terarah. Jadi, di wilayah “perang terhadap korupsi” ini, setiap orang harus dipandang dengan “paradigma bersalah” dan bukan “paradigma tidak bersalah”. Kalau sudah masuk ke wilayah pengadilan, barulah paradigma yang digunakan diubah: memandang siapa pun sebagai “orang yang tidak bersalah“. Jadi, mungkin saja Tommy sendiri tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus ini. Tapi, jangan terburu-buru menutup kemungkinan bahwa dana di BNP Paribas itu merupakan hasil korupsi yang pernah dilakukan ayahnya, mantan presiden Soeharto. Apalagi, ada dugaan lain bahwa uang Tommy di luar negeri itu ditransfer melalui rekening kantor pengacara milik Yusril Ihza Mahendra, “Ihza and Ihza”. Atas jasa tersebut, kantor pengacara Yusril mendapat fee sebesar Rp 7 milliar. Bukankah dugaan-dugaan ini layak dikembangkan ke arah penyelidikan?Di negara yang masih juara korupsi dan supremasi hukumnya sedang carut-marut ini, publik justru tidak sekali-kali boleh lengah dalam mengawasi kinerja para pejabat negara dan pihak-pihak lain yang terkait dengan mereka.

Hamid dan Yusril saling tuding dan saling menunggu siapa yang akan menuai badai dihentikan sebagai menteri kabinet SBY-YK. Walau menjadi anak emas YK, akhirnya Hamid tak dapat lagi dilindungi oleh YK. Bersama Yusril keduanya dihentikan dari kabinet SBY-YK. Atas jasanya bersekutu dengan koruptor, Hamid mendapat promosi sebagai dutabesar. Mungkin hanya di Indonesia, pejabat yang diberhentikan karena alasan korupsi bisa mewakili negaranya sebagai duta besar.

Sumber : Victor Silaen (Sinar HArapan) dan berbagai sumber.